Ayahku, Motivatorku
(Oleh
Melly)
Hari
ini matahari enggan menunjukkan wajahnya, tetes demi tetes air pun akhir-akhir
ini tak nampak. Suasana seperti ini semakin membuat diriku mencekam sembari
mengingat ayah. Ku lihat langit tampak mendung, namun air masih enggan turun ke
bumi. Seperti itulah perasaanku kini, setelah kepergian ayah seminggu yang
lalu.
Sedangkan ibu masih terlihat tegar,
walau begitu ku tahu ibu sering menangisi kepergian ayah. Setiap malam, tak
jarang ku melihat ibu menangis dikamarnya.
Malam ini begitu hening sehingga tak
sedikitpun aku meragukan suasana ini untuk menumpahkan segala luapan emosi dan
tangisanku. Lalu aku langsung beranjak menuju ranjang tidurku. Ranjang rotan
inilah yang selalu menjadi tempat kedua atau bahkan terakhir aku mencurahkan
apa yang selalu menjadi masalahku setelah ayah. Banyak sekali pernak-pernik
buatan ayah dikamarku sehingga membuatku sulit sekali melepas kenangan
tentangnya.
Biasanya setelah aku puas mengingat
ayah, ku atur posisi tidurku. Sering kali aku menatap sawang-sawang dilangit
kamarku. Yah.. sawang bukan plafon. Rumah ini terlalu tua untuk ditempati, yang
ada dilangit kamarku hanya sawang-sawang yang kian hari kian banyak. Aku selalu
berfikir sebelum tidur sambil menatap sawang-sawang dikamarku hingga akhirnya
aku pun terlelap.
“Nak bangun, ini giliran kamu untuk
menjaga dan merawat ibumu, bahagiakan ibumu.”
Aku terbangun, “Astagfirullah,
ternyata mimpi. Mungkin karena ku terlalu memikirkan ayah.”(bisik hatiku),
dengan mata setengah sadar aku beranjak dari ranjangku keluar kamar untuk
mengambil segelas air didapur. Saat ingin kembali ke kamar, aku tidak sengaja
melihat ibu masih saja menangisi dan menatap hampa foto ayah. Ingin sekali aku
mendekatinya, tetapi ku ingat tepat dua hari yang lalu juga, aku melihat ibu
yang sedang menangis seorang diri dikamar, lalu aku mendekatinya berharap rasa
duka itu berkurang, namun bukannya membuat ibu tenang, aku malah semakin
membuatnya sedih dan aku tak ingin hal itu terulang kembali. Langsung aku
paksakan kakiku untuk melangkah ke kamarku.
Sesampainya dikamar, handphoneku
berdering. Aku fikir, aku akan mendapatkan kata-kata pendukung kesedihanku
seperti belasukawan atau bahkan aku turut berduka cita tetapi ternyata tidak,
aku pun bersyukur sehingga tak ada lagi tangisan yang harus ku keluarkan untuk
itu.
Pengingat : lusa ujian SNMPTN
dimulai. Semangat Liana J
Pengingat, yah aku baru teringat
jika dua hari lagi aku akan mengikuti ujian SNMPTN. Pengingat itu aku buat
sehari sebelum akhirnya ayah meninggalkanku selama-lamanya. Teringat lagi
tentangnya, air mata ini pun terpaksa menetes kembali.
“Ayah, aku ingin sekali kuliah di
PTN tahun ini.”
“Iya Nak. Akan Ayah usahakan hal
itu, jangan khawatir bahkan kalau bisa ayah lembur supaya ayah mendapatkan
banyak uang untuk membiayai kuliah kamu, Nak.”
Tetesan mulai mengalir ketika aku
mengingat satu-persatu memori itu. Ayah menuju kamarku, saat itu aku sedang
menangis, aku takut jika aku tidak bisa membuat orangtuaku bahagia karena
penyakit gagal ginjal yang aku derita semenjak SMA kondisinya semakin parah.
Namun Ayah selalu membuat motivasi-motivasi besar dalam hidupku sampai aku pun
seringkali melupakan penyakitku itu.
“Buatlah dua impian dalam selembar
kertas ini, lalu baca dan simpan didalam botol kecil, tutup dan bukalah
selembar kertas ini saat kamu mengingatnya. Yakinlah ketika kamu ingat kembali,
salah satu atau bahkan semua keinginanmu itu akan terwujud.”tuturnya
Mulai
ku rajut dua impian itu didalam pikiranku. Yakin, yakin, dan yakin merupakan
salah satu motivasi yang selalu ayah utarakan kepadaku terlebih ketika ku
sedang terjebak dalam berbagai masalah.
Bismillah, itulah awal kata yang
terlontar dari bibirku. Sejenak ku pejamkan mata untuk mengingat dan meyakinkan
diri seolah-olah dua impian ini bukanlah suatu pengharapan melainkan suatu
penghargaan yang kelak akan ku dapatkan.
Tuhan, aku ingin sekali
membahagiakan kedua orangtuaku atau bahkan jika kelak usiaku lebih pendek dari
ayah dan ibuku. Sampai saat ini aku bersyukur organ ini masih ada untukku,
walau sebenarnya ku ragu akan titipan-Mu karena sering kali aku hanya
memikirkan apa yang aku inginkan daripada kebaikan ragaku ini.
*Impian
pertamaku, aku ingin sembuh Tuhan. Tetapi ma’afkan aku, jika suatu saat organ
ini tak lagi berfungsi, memang salahku yang tak sempurna menjaganya dan aku
mengerti, jika yang ku pertaruhkan ini bukan hanya sekedar raga dari-Mu,
melainkan nyawa yang juga bersemayam didalam ragaku. Tetapi adakah pendonor
yang akan mendonorkan satu ginjalnya untukku?
*Impian
keduaku, setelah aku sembuh, aku ingin buktikan pada semua insan jika aku bisa
membuat kedua orangtuaku tersenyum bahagia. Walau banyak keterbatasan
orangtuaku dan bahkan aku sendiri sering kali membuat mereka menangis jika rasa
sakit itu telah mulai menggerogoti tubuhku. Namun, setelah aku sembuh kelak,
janjiku ku padamu Tuhan, aku akan giat belajar supaya aku bisa kuliah di
Universitas impianku, ayah dan ibuku yaitu Universitas Pendidikan Indonesia.
Selain itu juga alasanku memilih Universitas itu, karena ayah seringkali
memotivasiku untuk menjadi guru yang kelak akan mengajar anak-anak kecil, dan
dari mengajar anak-anak kecil itulah aku bisa belajar memotivasi dan juga
mengumpulkan satu-persatu kebahagiaanku melalui kepolosan dan keceriaan mereka.
Hanya itu yang aku inginkan Tuhan. Wujudkan permohonanku ini. Aku mohon.
Akupun terlelap kembali setelah
setelah lama aku mengingat hal itu.
Dua
hari kemudian ...
Hari ini tepat tanggal 13 Juni 2012,
aku mengikuti ujian SNMPTN. Setelah mengikuti ujian tersebut aku langsung
pulang ke rumah.
Sebulan
berlalu ...
Aku bersyukur, ibu terlihat lebih
baik dari bulan lalu. Terlebih ketika dia menanyakan hasil ujian SNMPTNku bulan
lalu. Aku baru teringat jika hari ini pengumuman SNMPTN bisa dilihat.
Langsung
ku beranjak dari rumah menuju warnet yang jaraknya 2 km dari rumahku. Lorong
bambu yang biasa ku lewati masih tergenang air, aku lupa hal ini sehingga
sepatu sendal satu-satunya pemberian ayah basah kuyup.
Sesampainya
diwarnet, aku bahagia sekali ketika melihat hasil pengumuman tersebut.
Akhirnya aku lulus di Universitas impianku.
Liana
Putriliani
|
Selamat
Anda lulus di PGSD Universitas Pendidikan Indonesia
|
Aku
langsung berlari ke rumah. Tak ku hiraukan lagi percikan air membasahi pakaian dan sepatuku.
Ibu...
aku lulus, aku lulus Bu.”
Sedikit tangisan ibu terurai
dihadapanku. Ku usap satu-persatu tetesan air mata itu. Ku peluk erat tubuh
ibu. Beliau pun akhirnya tersenyum kepadaku.
Hari berikutnya akupun dapat masalah,
karena ternyata aku tidak terpilih sebagai anak beasiswa. Harapan itu luluh
sekejap. Aku menangisi hal yang tak mungkin ku capai dan aku pun mulai putus
asa. Akhirnya ku putuskan untuk mengunjungi ayah dengan tangis, dan membawa
harapan setelah ini aku bisa tersenyum kembali. Sesampainya aku disana ternyata
ibu telah dulu bertamu. Aku pun duduk disampingnya. Beliau menatapku dan
tiba-tiba beliau langsung memintaku untuk menutup mata sejenak.
“Nak,
buka matamu.”
“Ibu..
inikan botol kecil impianku.”
“Iya,
kamu pernah menuliskan dua impianmu didalam botol ini. Saat kamu tertidur, ayah
mengambilnya. Ketika ayah sedang sakit, beliau memberitahukan Ibu tentang ini
dan ayah mencoba mewujudkannya walau awalnya Ibu sangat tidak setuju tetapi
karena ayah tetap bersikeras akhirnya ibu mengalah. Namun kini kamu bisa
merasakannya.”
“Apa
maksud Ibu?”Tanyaku penasaran.
“Ayah sudah
terkena kanker hati semenjak dua tahun yang lalu. Ayah juga yang
paling
takut ketika dia mengetahui bahwa kamu mengidap penyakit gagal ginjal. Sekarang
kamu sudah mempunyai dua ginjal yang utuh dan sehat. Jaga baik-baik ya Nak.
Ayahlah yang mendonorkan satu ginjal untukmu.”
Aku mulai meneteskan air mata dihadapan
Ibu tanpa ragu, ditambah nafasku semakin turun naik tak menentu ketika aku baru
mengetahui siapa sebenarnya pendonor ginjalku. Belum sempat aku mengusap air
mataku, ibu langsung menjelaskan mengenai impian keduaku.
“Nak,
ayah dan ibu meminta ma’af jika kami seringkali secara tidak langsung membuatmu
putus asa karena keterbatasan kami untuk membiayai pendidikan dan pengobatanmu.
Namun sekali lagi kamu tidak usah khawatir, ayahmu sudah menitipkan hadiah
untukmu. Dia menukarkan satu ginjalnya lagi untuk biaya kuliah kamu Nak,
terlebih karena dokter telah memvonis jika usia almarhum tidak sampai sebulan
lagi. Karena kamu dia melakukan hal ini semua.”
Mendengar hal itu semua,
tangisanku semakin lepas dan nafasku semakin tak jelas. Ibupun meneteskan air
matanya juga dihadapanku, ku gempalkan tanganku dan memejamkan mata sambil
mengingat ayah. Lalu ibu memeluk erat tubuku dan mencoba menenangkanku.
Kini jasad Ayah telah tertanam
didalam tanah. Walaupun dihadapan aku hanya sepetak tanah dan berdiri sebuah
kayu yang bertuliskan nama ayah, namun aku masih merasakan kehadirannya. Terima
kasih Tuhan, terima kasih ayah akhirnya aku bisa kuliah di Universitas
impianku. Akan aku lakukan yang terbaik untuk dirimu, ayahku tersayang. Aku
berharap kelak jika aku telah menjadi guru, ayah bisa melihatku.
“Sepertinya
pertemuan itu tidak akan pernah terjadi diantara kita lagi yah. Tuhan mempunyai
rencana lain, rasanya sedih sekali karena salah satu harus berkorban namun aku
akan belajar ikhlas demi dirimu. Semoga ayah tenang disana. Aku akan selalu
mendo’akan ayah dan aku berharap ayah bahagia disana.”
“Ayo
Nak kita pulang udah sore. Ayahmu sudah tenang disana.”
“Selamat
tinggal ayah, selamat tinggal motivatorku.”
0 komentar:
Posting Komentar