Kamis, 11 Oktober 2012

Juara I Lomba Cerpen


Ayahku, Motivatorku
(Oleh Melly)
Hari ini matahari enggan menunjukkan wajahnya, tetes demi tetes air pun akhir-akhir ini tak nampak. Suasana seperti ini semakin membuat diriku mencekam sembari mengingat ayah. Ku lihat langit tampak mendung, namun air masih enggan turun ke bumi. Seperti itulah perasaanku kini, setelah kepergian ayah seminggu yang lalu.
            Sedangkan ibu masih terlihat tegar, walau begitu ku tahu ibu sering menangisi kepergian ayah. Setiap malam, tak jarang ku melihat ibu menangis dikamarnya.
            Malam ini begitu hening sehingga tak sedikitpun aku meragukan suasana ini untuk menumpahkan segala luapan emosi dan tangisanku. Lalu aku langsung beranjak menuju ranjang tidurku. Ranjang rotan inilah yang selalu menjadi tempat kedua atau bahkan terakhir aku mencurahkan apa yang selalu menjadi masalahku setelah ayah. Banyak sekali pernak-pernik buatan ayah dikamarku sehingga membuatku sulit sekali melepas kenangan tentangnya.
            Biasanya setelah aku puas mengingat ayah, ku atur posisi tidurku. Sering kali aku menatap sawang-sawang dilangit kamarku. Yah.. sawang bukan plafon. Rumah ini terlalu tua untuk ditempati, yang ada dilangit kamarku hanya sawang-sawang yang kian hari kian banyak. Aku selalu berfikir sebelum tidur sambil menatap sawang-sawang dikamarku hingga akhirnya aku pun terlelap.
            “Nak bangun, ini giliran kamu untuk menjaga dan merawat ibumu, bahagiakan ibumu.”
            Aku terbangun, “Astagfirullah, ternyata mimpi. Mungkin karena ku terlalu memikirkan ayah.”(bisik hatiku), dengan mata setengah sadar aku beranjak dari ranjangku keluar kamar untuk mengambil segelas air didapur. Saat ingin kembali ke kamar, aku tidak sengaja melihat ibu masih saja menangisi dan menatap hampa foto ayah. Ingin sekali aku mendekatinya, tetapi ku ingat tepat dua hari yang lalu juga, aku melihat ibu yang sedang menangis seorang diri dikamar, lalu aku mendekatinya berharap rasa duka itu berkurang, namun bukannya membuat ibu tenang, aku malah semakin membuatnya sedih dan aku tak ingin hal itu terulang kembali. Langsung aku paksakan kakiku untuk melangkah ke kamarku.
            Sesampainya dikamar, handphoneku berdering. Aku fikir, aku akan mendapatkan kata-kata pendukung kesedihanku seperti belasukawan atau bahkan aku turut berduka cita tetapi ternyata tidak, aku pun bersyukur sehingga tak ada lagi tangisan yang harus ku keluarkan untuk itu.
            Pengingat : lusa ujian SNMPTN dimulai. Semangat Liana J
            Pengingat, yah aku baru teringat jika dua hari lagi aku akan mengikuti ujian SNMPTN. Pengingat itu aku buat sehari sebelum akhirnya ayah meninggalkanku selama-lamanya. Teringat lagi tentangnya, air mata ini pun terpaksa menetes kembali.
            “Ayah, aku ingin sekali kuliah di PTN tahun ini.”
            “Iya Nak. Akan Ayah usahakan hal itu, jangan khawatir bahkan kalau bisa ayah lembur supaya ayah mendapatkan banyak uang untuk membiayai kuliah kamu, Nak.”
            Tetesan mulai mengalir ketika aku mengingat satu-persatu memori itu. Ayah menuju kamarku, saat itu aku sedang menangis, aku takut jika aku tidak bisa membuat orangtuaku bahagia karena penyakit gagal ginjal yang aku derita semenjak SMA kondisinya semakin parah. Namun Ayah selalu membuat motivasi-motivasi besar dalam hidupku sampai aku pun seringkali melupakan penyakitku itu.
            “Buatlah dua impian dalam selembar kertas ini, lalu baca dan simpan didalam botol kecil, tutup dan bukalah selembar kertas ini saat kamu mengingatnya. Yakinlah ketika kamu ingat kembali, salah satu atau bahkan semua keinginanmu itu akan terwujud.”tuturnya
            Mulai ku rajut dua impian itu didalam pikiranku. Yakin, yakin, dan yakin merupakan salah satu motivasi yang selalu ayah utarakan kepadaku terlebih ketika ku sedang terjebak dalam berbagai masalah.
            Bismillah, itulah awal kata yang terlontar dari bibirku. Sejenak ku pejamkan mata untuk mengingat dan meyakinkan diri seolah-olah dua impian ini bukanlah suatu pengharapan melainkan suatu penghargaan yang kelak akan ku dapatkan.
            Tuhan, aku ingin sekali membahagiakan kedua orangtuaku atau bahkan jika kelak usiaku lebih pendek dari ayah dan ibuku. Sampai saat ini aku bersyukur organ ini masih ada untukku, walau sebenarnya ku ragu akan titipan-Mu karena sering kali aku hanya memikirkan apa yang aku inginkan daripada kebaikan ragaku ini.
*Impian pertamaku, aku ingin sembuh Tuhan. Tetapi ma’afkan aku, jika suatu saat organ ini tak lagi berfungsi, memang salahku yang tak sempurna menjaganya dan aku mengerti, jika yang ku pertaruhkan ini bukan hanya sekedar raga dari-Mu, melainkan nyawa yang juga bersemayam didalam ragaku. Tetapi adakah pendonor yang akan mendonorkan satu ginjalnya untukku?
*Impian keduaku, setelah aku sembuh, aku ingin buktikan pada semua insan jika aku bisa membuat kedua orangtuaku tersenyum bahagia. Walau banyak keterbatasan orangtuaku dan bahkan aku sendiri sering kali membuat mereka menangis jika rasa sakit itu telah mulai menggerogoti tubuhku. Namun, setelah aku sembuh kelak, janjiku ku padamu Tuhan, aku akan giat belajar supaya aku bisa kuliah di Universitas impianku, ayah dan ibuku yaitu Universitas Pendidikan Indonesia. Selain itu juga alasanku memilih Universitas itu, karena ayah seringkali memotivasiku untuk menjadi guru yang kelak akan mengajar anak-anak kecil, dan dari mengajar anak-anak kecil itulah aku bisa belajar memotivasi dan juga mengumpulkan satu-persatu kebahagiaanku melalui kepolosan dan keceriaan mereka. Hanya itu yang aku inginkan Tuhan. Wujudkan permohonanku ini. Aku mohon.
            Akupun terlelap kembali setelah setelah lama aku mengingat hal itu.
Dua hari kemudian ...
            Hari ini tepat tanggal 13 Juni 2012, aku mengikuti ujian SNMPTN. Setelah mengikuti ujian tersebut aku langsung pulang ke rumah.
Sebulan berlalu ...
            Aku bersyukur, ibu terlihat lebih baik dari bulan lalu. Terlebih ketika dia menanyakan hasil ujian SNMPTNku bulan lalu. Aku baru teringat jika hari ini pengumuman SNMPTN bisa dilihat.
Langsung ku beranjak dari rumah menuju warnet yang jaraknya 2 km dari rumahku. Lorong bambu yang biasa ku lewati masih tergenang air, aku lupa hal ini sehingga sepatu sendal satu-satunya pemberian ayah basah kuyup.
Sesampainya diwarnet, aku bahagia sekali ketika melihat hasil pengumuman tersebut. Akhirnya aku lulus di Universitas impianku.
Liana Putriliani
Selamat Anda lulus di PGSD Universitas Pendidikan Indonesia
Aku langsung berlari ke rumah. Tak ku hiraukan lagi percikan air membasahi    pakaian dan sepatuku.
Ibu... aku lulus, aku lulus Bu.”
        Sedikit tangisan ibu terurai dihadapanku. Ku usap satu-persatu tetesan air mata itu. Ku peluk erat tubuh ibu. Beliau pun akhirnya tersenyum kepadaku.           
         Hari berikutnya akupun dapat masalah, karena ternyata aku tidak terpilih sebagai anak beasiswa. Harapan itu luluh sekejap. Aku menangisi hal yang tak mungkin ku capai dan aku pun mulai putus asa. Akhirnya ku putuskan untuk mengunjungi ayah dengan tangis, dan membawa harapan setelah ini aku bisa tersenyum kembali. Sesampainya aku disana ternyata ibu telah dulu bertamu. Aku pun duduk disampingnya. Beliau menatapku dan tiba-tiba beliau langsung memintaku untuk menutup mata sejenak.
“Nak, buka matamu.”
“Ibu.. inikan botol kecil impianku.”
“Iya, kamu pernah menuliskan dua impianmu didalam botol ini. Saat kamu tertidur, ayah mengambilnya. Ketika ayah sedang sakit, beliau memberitahukan Ibu tentang ini dan ayah mencoba mewujudkannya walau awalnya Ibu sangat tidak setuju tetapi karena ayah tetap bersikeras akhirnya ibu mengalah. Namun kini kamu bisa merasakannya.”
“Apa maksud Ibu?”Tanyaku penasaran.
“Ayah sudah terkena kanker hati semenjak dua tahun yang lalu. Ayah juga yang
paling takut ketika dia mengetahui bahwa kamu mengidap penyakit gagal ginjal. Sekarang kamu sudah mempunyai dua ginjal yang utuh dan sehat. Jaga baik-baik ya Nak. Ayahlah yang mendonorkan satu ginjal untukmu.”
        Aku mulai meneteskan air mata dihadapan Ibu tanpa ragu, ditambah nafasku semakin turun naik tak menentu ketika aku baru mengetahui siapa sebenarnya pendonor ginjalku. Belum sempat aku mengusap air mataku, ibu langsung menjelaskan mengenai impian keduaku.
“Nak, ayah dan ibu meminta ma’af jika kami seringkali secara tidak langsung membuatmu putus asa karena keterbatasan kami untuk membiayai pendidikan dan pengobatanmu. Namun sekali lagi kamu tidak usah khawatir, ayahmu sudah menitipkan hadiah untukmu. Dia menukarkan satu ginjalnya lagi untuk biaya kuliah kamu Nak, terlebih karena dokter telah memvonis jika usia almarhum tidak sampai sebulan lagi. Karena kamu dia melakukan hal ini semua.”
             Mendengar hal itu semua, tangisanku semakin lepas dan nafasku semakin tak jelas. Ibupun meneteskan air matanya juga dihadapanku, ku gempalkan tanganku dan memejamkan mata sambil mengingat ayah. Lalu ibu memeluk erat tubuku dan mencoba menenangkanku.
               Kini jasad Ayah telah tertanam didalam tanah. Walaupun dihadapan aku hanya sepetak tanah dan berdiri sebuah kayu yang bertuliskan nama ayah, namun aku masih merasakan kehadirannya. Terima kasih Tuhan, terima kasih ayah akhirnya aku bisa kuliah di Universitas impianku. Akan aku lakukan yang terbaik untuk dirimu, ayahku tersayang. Aku berharap kelak jika aku telah menjadi guru, ayah bisa melihatku.
“Sepertinya pertemuan itu tidak akan pernah terjadi diantara kita lagi yah. Tuhan mempunyai rencana lain, rasanya sedih sekali karena salah satu harus berkorban namun aku akan belajar ikhlas demi dirimu. Semoga ayah tenang disana. Aku akan selalu mendo’akan ayah dan aku berharap ayah bahagia disana.”
“Ayo Nak kita pulang udah sore. Ayahmu sudah tenang disana.”
“Selamat tinggal ayah, selamat tinggal motivatorku.”

0 komentar:

Posting Komentar