Kamis, 11 Oktober 2012

Juara II Lomba Cerpen


Kampus Ridho Ibu
(Dwi Novi Antari)
Rose is rose wherever it grows. Mawar adalah mawar dimanapun ia tumbuh. Meski dalam baris ribuan kaktus digurun pasir, ia akan tetap disebut mawar. Bahkan jika ia tumbuh dalam rawa lumpur di hutan paling dalam, ia juga tetap dikenali sebagai mawar walaupun diantara teratai. Di taman dengan bermilyaran jenis bunga , tak kan ada yang salah menyebutnya, ia akan dan terus menjadi mawar. Begitu yang ibuku tuturkan dan sampai sekarang belum juga kutemui maksudnya.
*****
Aku masih menatapi layar tipis berukuran 14 inchi, tanpa cahaya sedikitpun dari luaran ruang. Gelap bercampur pekat. Huruf-huruf yang tertulis pada laptop dihadapanku begitu nampak jelas, terlalu jelas untuk sekedar menganggu pikiranku. Seingatku, sudah sejak kemarin aku mengurunggi diri disini. Dihadapan tulisan ini, aku seperti tertimpa beban atau malah bencana, aku sudah tak berdaya. Sebaris tulisan dari sebuah situs resmi dengan pengunjung terbanyak minggu ini, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri. Ya, pengumuman SNMPTN sudah dipublikasikan di internet sejak kemarin malam, dan aku adalah satu dari berpuluh ribu pelajar yang kecewa.
“Selamat, Anda diterima di Jurusan PGSD, Universitas Pendidikan Indonesia”
Kalimat yang meruntuhkan mimpiku, mimpi yang kurancang apik sejak dua tahun lalu. Tulisan yang membuat seluruh tubuhku kaku. Kata-kata yang membumi hanguskan harapan masa depanku.
“Zae, kenapa belum juga keluar kamar? Ibu memanggiliku dari balik pintu.
Lalu hening dan senyap. Semuanya kembali pekat ketika kututup kedua mataku. Bayang-bayang sebuah lambang terus saja datang, tak pernah pergi. Aku memang menginginkannya, sangat dan terlalu ingin memiliknya. Seekor gajah melambai-lampai padaku, kemudian menghilang menjadi sebuah titik. Ah, ITB tunggu aku!
“Bagaimana pengumumannya, Zae?” pertanyaan ibu membuatku sesak nafas tiba-tiba.
“Lolos Bu” jawabku datar.
“Alhamdulillah, pilihan yang keberapa Zae?” pertanyaan ibu semakin membuatku tercekik.
“Terakhir Bu” jawabku pasrah.
“Ya Allah, Allahu Akbar, kamu jadi guru Zae, Syukur nak, Alhamdulillah”
Ibu tiba-tiba bersujud di lantai, lalu memelukku dan menciumiku dengan tangis meluap-luap. Hangat peluknya, tapi panas rasa dalam diriku. Saat ini sudah kacau semua pikiranku, ibu begitu bersyukur juga girang tak terkira, sedang aku hampir mati karena ini bukan pilihanku, bukan mauku, bukan aku yang menginginkannya. Ibu, ya ibu yang menyuruhku kuliah di Pendidikan, di Universitas Pendidikan nomor satu di Negri ini. Bu, bisakah ibu saja yang kuliah di UPI sungguh bu aku masih mengimpikan ITB, ucapku dalam hati. Tak sanggup kuutarakan apa yang menganjal padaku, ibu terlalu bahagia dan aku  tak tega menyakiti inginnya.
“Maukah kau mendengar cerita dibalik namamu Zae?” Tanya ibu padaku.
“Tentu bu,” jawabku tak berselera.
Kemudian ia menuturkan soal arti namaku, dan aku sangat terperanjat mengetahui kebenaran makna dibalik namaku sendiri, aku salah menafsiri namaku. Muhammad Zaenal B, dengan nama akhir yang disingkat. Tidak umum memang, biasanya nama Muhammad lah yang akan disingkat jika namanya terlalu panjang. Ayah menginginkanku menjadi pribadi seperti Muhammad, nabi umat islam, juga guru peradaban dunia. Lalu singkatan B untuk Bakri, kufikir itu berarti orangtuaku menginginkanku menjadi orang sukses seperti Aburizal Bakri, Bakri yang berarti nama akhir seorang pengusaha sukses Indonesia. Sedikit mirip juga antara Zaenal dan Aburizal, sama-sama berunsur “Za”.
Runtuh sudah semua definisi nama yang kutafsir sendiri, Bakri yang orangtuaku maksud adalah Oemar Bakri, sosok guru ternama di Indonesia, tokoh idola Ayah, lagi-lagi berarti guru. Semakin sakit saja hatiku. Cukuplah ini menyadarkanku bahwa sejauh apapun harapanku dan setinggi apapun aku bermimpi, aku akan kembali pada takdir yang terpatri dalam namaku, melekat pada diriku sendiri. Bukan hanya satu, tapi dua dari tiga penyusun namaku adalah bermakna sosok guru. Aku mengutuk diri dalam hening diam.
Hari-hari berlalu tanpa ada hasrat yang mengebu, kubiarkan diri mengikuti irama waktu tanpa berdaya melawannya. Hampir kuinsyafi diri dengan pikiran untuk tidak kuliah kecuali di ITB, namun kuingat juga tak mungkin aku mementingkan diriku sendiri sedang ibu begitu besar mengharapkanku.
Ibu meyuruhku segera berangkat mengurus semua keperluan akademik yang dibutuhkan Universitas, dengan tanpa melawan kuturuti semua pintanya. Menyusuri daerah Bandung yang berselimut hawa dingin masih saja kurasa diriku dalam suhu panas dibagian hati. Memasuki deret Jalan Setia Budi pandanganku seperti kabur, jika saja kutemui nama daerah ini adalah Jatinangor betapa bahagianya aku.
“Selamat siang, ada yang bisa dibantu kang? Ruang BAAK ada dibelakang masjid Al-Furqon didepan Gedung Pasca Sarjana, sebelah sana,” seorang satpam digerbang dengan ramah menjelaskan, mungkin ia paham aku adalah mahasiswa baru.
“Terimakasih” ucapku dengan senyum tertahan.
Disamping  kanan kantor satpam terdapat tembok nama Universitas Pendidikan Indonesia lengkap dengan lambang berwarna hitam, merah dan lingkaran kecil kuning. Dibaris depan Universitas terdapat gedung rektorat yang menjadi icon UPI, lalu berderet gedung tinggi lainnya, juga pepohonannya yang makin membuat suhunya semakin terasa dingin, hatiku masih belum juga terpaut.
Lalu digaris paling depan adalah sebuah gedung dengan warna paling kontras diantara yang lainnya, sebuah masjid yang menarik hatiku. Dengan segenap keyakinan kupaksakan melangkah. Dengan samar, terbaca sebuah nama “Al-Furqon”. Pembeda, tepat sekali. Gedung paling berbeda memang, tak salah apa yang sempat kupikirkan.
Setelah bersujud didalam masjid, tanpa sadar dipojok baris terdepan shaff aku sudah sesenggukan dalam tangis. Hatiku terasa lara sekali, kenapa aku ditakdirkan ada ditempat ini, kenapa tak pula dikabulkan doa-doaku disela tahajjud, aku menunduk dalam-dalam. Semua beban seperti tertumpu, reruntuhan mimpi yang kupunya terasa berat. Sesak.
“Nak, kau baik-baik saja” seseorang memegang pundakku.
Dengan cepat kuhapusi rintih halus dimataku. Kemudian kutatap kedua mata laki-laki dihadapanku. Aku yang menurut ibuku, bujang paling penurut dan hemat bicara ini entah bagaimana dengan begitu mudahnya menuturkan masalah yang kupunya kepada orang yang sama sekali tak kukenal sebelumnya. Semua yang menganjal dihatiku kuungkapkan, tentang kampus impian yang berganti jadi kampus yang tak diinginkan, tentang keinginan ibu, tentang diriku yang masih belum menemukan gairah semangat.
“Pertama, syukurilah apa yang kau dapati ini nak, lebih dari sekedar rahasia  apa yang ada dibalik semuanya” ucapnya pelan menenangkanku.
“Jika menurutmu nama besar sebuah instansi adalah sesuatu yang sangat penting , maka ingatlah nak, hakekat ilmu lebih dari sekedar itu, bukan dimana, apa atau kapan namun bagaimanalah yang lebih utama. Didalam penjara sekalipun kau masih bisa mendapatkan ilmu, para tukang becak pun bisa kau jadikan guru. Lebih dari sekedar itu nak, yang terpenting adalah kau dengan ilmu yang kau dapat itu, bermanfaatkah bagi banyak orang atau hanya untuk arsip pribadimu saja.” Ia mengambil jeda untuk mengambil nafas kembali.
“Perbaikilah niatmu nak, lapangkan keiklasanmu, dapati ridho ibumu yang sudah begitu jelas ada dihadapmu, jangan berfokus pada keharusan menjadi sukses, siapkanlah dirimu untuk jadi yang paling bermanfaat,” ia meraih kedua tanganku, mengenggamnya  lalu menyalimi dengan kuat.
“Segeralah registrasi, disini bukan tempat yang salah, percayalah nak.”
Dengan patuhnya, aku lekas bangkit dan berjalan menuju ke pintu utama dilantai dasar masjid, mencari-cari sandal yang tadi kupakai untuk segera ke gedung BAAK. Aku melupakan satu hal, belum juga kuketahui siapa laki-laki yang memberiku pencerahan itu. Kembali aku menaiki tangga masjid di kampus UPI ini, menyusuri setiap sudut ditiap lantai. Melempari pandangan kesekitar, berharap masih bisa menemukan sosok laki-laki berkemeja putih itu. Tak ada yang mengenakan warna putih disini, kemana bapak itu pergi?
Dengan sedikit ingatan yang tersisa, kupaksakan mengaisi ucapan bapak dalam masjid tadi, tentang hakekat ilmu sebenarnya. ITB, haruskah benar-benar kulupakan, oh kampus impianku. Kutarik nafas panjang selama yang kubisa lalu menghembuskannya perlahan, berulang kulakukan. Terpatris sebuah niat kini, dengan langkah gontai kuhampiri ibu dan segera bersimpuh dibawah kakinya, menciumi kedua tangannya.
“Bu, ridhoi jalanku... Bu, doakan agar aku menjadi orang yang bermanfaat, Bu...” ucapku berlinangan airmata, meluluhkan hatiku yang semula membeku.
Perlahan ibu mengusapi rambutku, menghembuskan semilir doa diatas kepalaku, nafasnya sejuk menentramkan.
“Bu, aku ingin ridhomu. Bu, hanya itu yang kumau, hanya ridhomu. Ridhoi aku, Bu...” Ucapku lagi dengan sesenggukan.
Runtuhlah kini kampus impian itu, bangunan ITB sudah runtuh diimpianku. Mungkin memang ada suatu hal yang membuatnya tidak diperuntukkan kepadaku. Maka datanglah kesadaran itu, bahwa kampus impian bukan hanya berarti itu kampus yang diimpi-impikan, yang didambakan, yang diinginkan. Kampus impian sekarang bagiku adalah kampus merangkai mimpi baru, kampus dimana akan kudapati ridho ibuku, kampus yang akan kutangkapi banyak ilmu tak peduli persoal apapun. Kuniati diri menjadi orang yang bermanfaat dan bukankah guru adalah insan paling utama dalam hal manfaat. Ayah, Ibu terimakasih untuk nama yang kalian sematkan padaku. Muhammad Zaenal Bakri.
Haru dalam hikmad yang memenuhi hati, kulangkahkan kaki dengan ikhlas di sebuah pelatar gedung di kampus impian baruku,UPI. Diantara beberapa tanaman yang tertata pada taman pelatar gedung ini, pandanganku tersita pada sebuah bunga berkelopak merah merona. Mawar itu, mawar yang ibu ceritakan. Aku diam dan mentafakuri yang ibu maksudkan soal bunga mawar. Mawar dimanapun ia berada?. Ah, aku hanya bisa tersenyum, paham maksudnya sekarang. Ibu benar, mawar akan tetap jadi mawar dimanapun ia berada. Jangan berfokus pada tempat yang diinjak, tapi titik beratkan untuk berbenah menunjukkan diri.
*teruntuk mahasiswa yang memahabesarkan nama sebuah instansi, mari pahami hakekat ilmu.

0 komentar:

Posting Komentar