Kampus
Ridho Ibu
(Dwi Novi Antari)
(Dwi Novi Antari)
Rose
is rose wherever it grows. Mawar adalah mawar dimanapun ia tumbuh. Meski dalam
baris ribuan kaktus digurun pasir, ia akan tetap disebut mawar. Bahkan jika ia
tumbuh dalam rawa lumpur di hutan paling dalam, ia juga tetap dikenali sebagai
mawar walaupun diantara teratai. Di taman dengan bermilyaran jenis bunga , tak
kan ada yang salah menyebutnya, ia akan dan terus menjadi mawar. Begitu yang
ibuku tuturkan dan sampai sekarang belum juga kutemui maksudnya.
*****
Aku
masih menatapi layar tipis berukuran 14 inchi, tanpa cahaya sedikitpun dari
luaran ruang. Gelap bercampur pekat. Huruf-huruf yang tertulis pada laptop
dihadapanku begitu nampak jelas, terlalu jelas untuk sekedar menganggu
pikiranku. Seingatku, sudah sejak kemarin aku mengurunggi diri disini. Dihadapan
tulisan ini, aku seperti tertimpa beban atau malah bencana, aku sudah tak
berdaya. Sebaris tulisan dari sebuah situs resmi dengan pengunjung terbanyak
minggu ini, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri. Ya, pengumuman
SNMPTN sudah dipublikasikan di internet sejak kemarin malam, dan aku adalah
satu dari berpuluh ribu pelajar yang kecewa.
“Selamat,
Anda diterima di Jurusan PGSD, Universitas Pendidikan Indonesia”
Kalimat
yang meruntuhkan mimpiku, mimpi yang kurancang apik sejak dua tahun lalu. Tulisan
yang membuat seluruh tubuhku kaku. Kata-kata yang membumi hanguskan harapan
masa depanku.
“Zae,
kenapa belum juga keluar kamar? Ibu memanggiliku dari balik pintu.
Lalu
hening dan senyap. Semuanya kembali pekat ketika kututup kedua mataku.
Bayang-bayang sebuah lambang terus saja datang, tak pernah pergi. Aku memang
menginginkannya, sangat dan terlalu ingin memiliknya. Seekor gajah melambai-lampai
padaku, kemudian menghilang menjadi sebuah titik. Ah, ITB tunggu aku!
“Bagaimana
pengumumannya, Zae?” pertanyaan ibu membuatku sesak nafas tiba-tiba.
“Lolos
Bu” jawabku datar.
“Alhamdulillah,
pilihan yang keberapa Zae?” pertanyaan ibu semakin membuatku tercekik.
“Terakhir
Bu” jawabku pasrah.
“Ya
Allah, Allahu Akbar, kamu jadi guru Zae, Syukur nak, Alhamdulillah”
Ibu
tiba-tiba bersujud di lantai, lalu memelukku dan menciumiku dengan tangis
meluap-luap. Hangat peluknya, tapi panas rasa dalam diriku. Saat ini sudah
kacau semua pikiranku, ibu begitu bersyukur juga girang tak terkira, sedang aku
hampir mati karena ini bukan pilihanku, bukan mauku, bukan aku yang
menginginkannya. Ibu, ya ibu yang menyuruhku kuliah di Pendidikan, di
Universitas Pendidikan nomor satu di Negri ini. Bu, bisakah ibu saja yang
kuliah di UPI sungguh bu aku masih mengimpikan ITB, ucapku dalam hati. Tak
sanggup kuutarakan apa yang menganjal padaku, ibu terlalu bahagia dan aku tak tega menyakiti inginnya.
“Maukah
kau mendengar cerita dibalik namamu Zae?” Tanya ibu padaku.
“Tentu
bu,” jawabku tak berselera.
Kemudian
ia menuturkan soal arti namaku, dan aku sangat terperanjat mengetahui kebenaran
makna dibalik namaku sendiri, aku salah menafsiri namaku. Muhammad Zaenal B,
dengan nama akhir yang disingkat. Tidak umum memang, biasanya nama Muhammad lah
yang akan disingkat jika namanya terlalu panjang. Ayah menginginkanku menjadi
pribadi seperti Muhammad, nabi umat islam, juga guru peradaban dunia. Lalu
singkatan B untuk Bakri, kufikir itu berarti orangtuaku menginginkanku menjadi
orang sukses seperti Aburizal Bakri, Bakri yang berarti nama akhir seorang
pengusaha sukses Indonesia. Sedikit mirip juga antara Zaenal dan Aburizal,
sama-sama berunsur “Za”.
Runtuh
sudah semua definisi nama yang kutafsir sendiri, Bakri yang orangtuaku maksud
adalah Oemar Bakri, sosok guru ternama di Indonesia, tokoh idola Ayah,
lagi-lagi berarti guru. Semakin sakit saja hatiku. Cukuplah ini menyadarkanku
bahwa sejauh apapun harapanku dan setinggi apapun aku bermimpi, aku akan
kembali pada takdir yang terpatri dalam namaku, melekat pada diriku sendiri.
Bukan hanya satu, tapi dua dari tiga penyusun namaku adalah bermakna sosok
guru. Aku mengutuk diri dalam hening diam.
Hari-hari
berlalu tanpa ada hasrat yang mengebu, kubiarkan diri mengikuti irama waktu
tanpa berdaya melawannya. Hampir kuinsyafi diri dengan pikiran untuk tidak
kuliah kecuali di ITB, namun kuingat juga tak mungkin aku mementingkan diriku
sendiri sedang ibu begitu besar mengharapkanku.
Ibu
meyuruhku segera berangkat mengurus semua keperluan akademik yang dibutuhkan
Universitas, dengan tanpa melawan kuturuti semua pintanya. Menyusuri daerah
Bandung yang berselimut hawa dingin masih saja kurasa diriku dalam suhu panas
dibagian hati. Memasuki deret Jalan Setia Budi pandanganku seperti kabur, jika
saja kutemui nama daerah ini adalah Jatinangor betapa bahagianya aku.
“Selamat
siang, ada yang bisa dibantu kang? Ruang BAAK ada dibelakang masjid Al-Furqon
didepan Gedung Pasca Sarjana, sebelah sana,” seorang satpam digerbang dengan
ramah menjelaskan, mungkin ia paham aku adalah mahasiswa baru.
“Terimakasih”
ucapku dengan senyum tertahan.
Disamping kanan kantor satpam terdapat tembok nama
Universitas Pendidikan Indonesia lengkap dengan lambang berwarna hitam, merah
dan lingkaran kecil kuning. Dibaris depan Universitas terdapat gedung rektorat
yang menjadi icon UPI, lalu berderet
gedung tinggi lainnya, juga pepohonannya yang makin membuat suhunya semakin
terasa dingin, hatiku masih belum juga terpaut.
Lalu
digaris paling depan adalah sebuah gedung dengan warna paling kontras diantara
yang lainnya, sebuah masjid yang menarik hatiku. Dengan segenap keyakinan
kupaksakan melangkah. Dengan samar, terbaca sebuah nama “Al-Furqon”. Pembeda,
tepat sekali. Gedung paling berbeda memang, tak salah apa yang sempat
kupikirkan.
Setelah
bersujud didalam masjid, tanpa sadar dipojok baris terdepan shaff aku sudah
sesenggukan dalam tangis. Hatiku terasa lara sekali, kenapa aku ditakdirkan ada
ditempat ini, kenapa tak pula dikabulkan doa-doaku disela tahajjud, aku
menunduk dalam-dalam. Semua beban seperti tertumpu, reruntuhan mimpi yang
kupunya terasa berat. Sesak.
“Nak,
kau baik-baik saja” seseorang memegang pundakku.
Dengan
cepat kuhapusi rintih halus dimataku. Kemudian kutatap kedua mata laki-laki
dihadapanku. Aku yang menurut ibuku, bujang paling penurut dan hemat bicara ini
entah bagaimana dengan begitu mudahnya menuturkan masalah yang kupunya kepada
orang yang sama sekali tak kukenal sebelumnya. Semua yang menganjal dihatiku
kuungkapkan, tentang kampus impian yang berganti jadi kampus yang tak
diinginkan, tentang keinginan ibu, tentang diriku yang masih belum menemukan
gairah semangat.
“Pertama,
syukurilah apa yang kau dapati ini nak, lebih dari sekedar rahasia apa yang ada dibalik semuanya” ucapnya pelan
menenangkanku.
“Jika
menurutmu nama besar sebuah instansi adalah sesuatu yang sangat penting , maka
ingatlah nak, hakekat ilmu lebih dari sekedar itu, bukan dimana, apa atau kapan
namun bagaimanalah yang lebih utama. Didalam penjara sekalipun kau masih bisa
mendapatkan ilmu, para tukang becak pun bisa kau jadikan guru. Lebih dari
sekedar itu nak, yang terpenting adalah kau dengan ilmu yang kau dapat itu,
bermanfaatkah bagi banyak orang atau hanya untuk arsip pribadimu saja.” Ia
mengambil jeda untuk mengambil nafas kembali.
“Perbaikilah
niatmu nak, lapangkan keiklasanmu, dapati ridho ibumu yang sudah begitu jelas
ada dihadapmu, jangan berfokus pada keharusan menjadi sukses, siapkanlah dirimu
untuk jadi yang paling bermanfaat,” ia meraih kedua tanganku,
mengenggamnya lalu menyalimi dengan
kuat.
“Segeralah
registrasi, disini bukan tempat yang salah, percayalah nak.”
Dengan
patuhnya, aku lekas bangkit dan berjalan menuju ke pintu utama dilantai dasar
masjid, mencari-cari sandal yang tadi kupakai untuk segera ke gedung BAAK. Aku
melupakan satu hal, belum juga kuketahui siapa laki-laki yang memberiku
pencerahan itu. Kembali aku menaiki tangga masjid di kampus UPI ini, menyusuri
setiap sudut ditiap lantai. Melempari pandangan kesekitar, berharap masih bisa
menemukan sosok laki-laki berkemeja putih itu. Tak ada yang mengenakan warna putih
disini, kemana bapak itu pergi?
Dengan
sedikit ingatan yang tersisa, kupaksakan mengaisi ucapan bapak dalam masjid
tadi, tentang hakekat ilmu sebenarnya. ITB, haruskah benar-benar kulupakan, oh
kampus impianku. Kutarik nafas panjang selama yang kubisa lalu menghembuskannya
perlahan, berulang kulakukan. Terpatris sebuah niat kini, dengan langkah gontai
kuhampiri ibu dan segera bersimpuh dibawah kakinya, menciumi kedua tangannya.
“Bu,
ridhoi jalanku... Bu, doakan agar aku menjadi orang yang bermanfaat, Bu...”
ucapku berlinangan airmata, meluluhkan hatiku yang semula membeku.
Perlahan
ibu mengusapi rambutku, menghembuskan semilir doa diatas kepalaku, nafasnya
sejuk menentramkan.
“Bu,
aku ingin ridhomu. Bu, hanya itu yang kumau, hanya ridhomu. Ridhoi aku, Bu...”
Ucapku lagi dengan sesenggukan.
Runtuhlah
kini kampus impian itu, bangunan ITB sudah runtuh diimpianku. Mungkin memang
ada suatu hal yang membuatnya tidak diperuntukkan kepadaku. Maka datanglah
kesadaran itu, bahwa kampus impian bukan hanya berarti itu kampus yang
diimpi-impikan, yang didambakan, yang diinginkan. Kampus impian sekarang bagiku
adalah kampus merangkai mimpi baru, kampus dimana akan kudapati ridho ibuku,
kampus yang akan kutangkapi banyak ilmu tak peduli persoal apapun. Kuniati diri
menjadi orang yang bermanfaat dan bukankah guru adalah insan paling utama dalam
hal manfaat. Ayah, Ibu terimakasih untuk nama yang kalian sematkan padaku.
Muhammad Zaenal Bakri.
Haru
dalam hikmad yang memenuhi hati, kulangkahkan kaki dengan ikhlas di sebuah pelatar
gedung di kampus impian baruku,UPI. Diantara beberapa tanaman yang tertata pada
taman pelatar gedung ini, pandanganku tersita pada sebuah bunga berkelopak
merah merona. Mawar itu, mawar yang ibu ceritakan. Aku diam dan mentafakuri
yang ibu maksudkan soal bunga mawar. Mawar dimanapun ia berada?. Ah, aku hanya
bisa tersenyum, paham maksudnya sekarang. Ibu benar, mawar akan tetap jadi
mawar dimanapun ia berada. Jangan berfokus pada tempat yang diinjak, tapi titik
beratkan untuk berbenah menunjukkan diri.
*teruntuk
mahasiswa yang memahabesarkan nama sebuah instansi, mari pahami hakekat ilmu.
0 komentar:
Posting Komentar