Kamis, 11 Oktober 2012

Juara III Lomba Cerpen


Sekolah Idaman, Semangat Dambaan
(Oleh Intan)
Di sebuah desa sangat jauh dari kebisingan kota, dimana pendidikan mungkin hanya nomor sembilan puluh sembilan dari seratus pilihan dimana keseratus adalah pilihan untuk mati, dirindukan sekolah bertaraf idaman.
 Aku adalah anak dari kedua orang tua yang sudah meninggal. Aku tinggal dengan kakek sekarang. Dia satu-satunya sisa garis keturunan darah yang aku punya. Kakek bernama Wandi dan namaku Piyan.
Sudah tiga tahun aku sekolah di SD Harapan. Kondisi sekolahku sangat sederhana. Hanya ada empat kelas dalam satu atap. Kelas pertama untuk kelas tiga dan empat, masing-masing tingkatan kelas dipisah dengan pembatas dinding dengan tinggi dua dua meter yang terbuat dari papan. Begitu juga dengan kelas lima dan enam. Sedangkan untuk kelas satu dan dua tak ada. Dikarenakan kurangnya tenaga pengajar di sekolah. Bagi kelas satu dan dua, mereka harus pergi ke rumah Pak Dian atau Pak Muhtar untuk mendapat pelajaran. Kegiatan belajar mengajar dilakukan oleh satu guru untuk dua kelas sekaligus. Maka tidak heran, jika guru yang mengajar harus sering bolak balik memperhatikan siswa yang beda tingkatan kelas. Dan setiap kelas rata-rata berkisar tidak lebih dari lima belas siswa.
Dinding dan atap terbuat dari papan dan kayu. Meja dan tempat duduk kami terbuat dari papan yang dibuat memanjang. Papan tulis hitam berukuran 1x2 meter menggantung di depan untuk dua kelas dengan pemisah garis lurus yang digambarkan oleh pak guru. Sekolahku hanya berlantaikan tanah. Kalau hujan turun, airnya akan masuk ke dalam kelasku hingga menjadi becek. Jika hujan deras turun, kegiatan belajar mengajar sudah otomatis diliburkan, karena tak ada tempat sama sekali untuk menunjang kegiatan tersebut. Hujan biasa saja sudah becek, apalagi hujan deras dengan tambahan atap kayu yang kini sudah banyak bolongnya, bahkan terlihat hampir rapuh. Saat hujan, tubuh kami kedinginan karena hawa-hawa dingin dengan mudah masuk ke dalam ruang kelas yang tak berpintu. Tempat dudukku tepat sekali dibawah atap yang bolong. Jika hujan sudah turun, maka akulah yang pertama kali kebasahan bersamaan dengan bukuku. Begitupun kejadiannya jika panas matahari tengah menyengat bumi.
Hanya ada dua guru di SD Harapan, Pak Dian memegang kelas lima dan enam, sedangkan kelas tiga dan empat oleh Pak Muhtar.
Aku pulang di bonceng Pak Dian. Hampir setiap hari aku di bonceng Pak Dian. Aku menangis dalam hati melihat sembilu keadaan kedua guruku. Mereka mengajar sampai siang hari, sudah lelah mengajar masih harus mencari nafkah sendiri di ujung pelosok daerah Kalimantan Timur, Kabupaten Nunukan Kecamatan Sebuku, kampung yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Aksen-aksen nada bicara kami pun mirip logat Malaysia. Tak ada yang mau jadi guru. Tentu saja tidak mau. Karena guru di kampung ini tidak dibayar. Hanya orang-orang yang dimampukan hatinya saja yang melihat dan tergerak untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Banyak dari kami lebih memilih untuk bekerja, berwirausaha dan kemudian menetap bahkan menjadi warga negara Malaysia. Tentu karena Malaysia memiliki banyak sarana kehidupan yang seratus kali lebih layak tidak seperti disini.
Bu Intan, guru baru yang ditugaskan di kecamatan kami, akan mengajar kelas lima adan enam. Nanti akan ada kelas satu dan dua di siang hari, Pak Dian lah orang yang akan mengajar mereka.
            Berlalu waktu berputar, aku sangat senang sekali diajar oleh Ibu Intan. Dia guru yang sangat baik, aku bisa melihat hatinya yang baik itu. Ibu tidak sungkan untuk melakukan banyak hal dengan kami dan warga.
            Kurangnya sarana prasarana transportasi serta komunikasi, tidak adanya listrik, lemahnya SDM yang diakibatkan karena minimnya pendidikan yang diperoleh masyarakat, serta keadaan sekolah yang sangat sangat miris membuat Bu Intan mencoba mengkaji kehidupan daerah perbatasan yang tidak menguntungkan. Ibu sering bercerita bahwa kami yang tinggal di sini sangat hebat, mampu bertahan dengan status kewarganegaraan yang masih Indonesia, bukan pergi ke Malaysia.
Suatu hari, Bu Intan pernah bertanya kepadaku tentang cita-citaku. Aku jawab ingin menjadi seperti Bu Intan dan Pak Dian. Menjadi guru. Membuat kampung menjadi maju. Semua anak sekolah dengan sekolah yang bagus. Ruang kelas luas, papan tulis lebar, tempat duduk dan meja yang enak, bagus dan dicat, atapnya pakai genteng biar tidak bolong, lantainya keramik, ada jam, jendela, pintu dan toiletnya. Aku tak mau ada libur hanya karna hujan yang buat becek dan basah kuyup siswa. Bu Intan menangis saat mendengar rentetan celotehanku. Aku tersenyum dan langsung kupeluk Bu Intan. Ternyata aku adalah siswa terakhir yang ditanya oleh ibu mengenai cita-cita dan sekolah idaman seperti apa yang diinginkan siswa. Bu Intan setiap hari pulang dengan siswa yang berbeda. Mengantar setiap siswa sampai rumah dan sepanjang perjalanan itulah, Bu Intan mencoba mendengarkan semua keluhan siswanya, bagaimana ilustrasi imajinasi mereka mengenai sekolah idaman.
            Tiga hari menjelang lomba, aku semakin deg-degan namun bersemangat. Aku yang akhirnya ditakdirkan mewakili SD Harapan ke lomba mengarang dan membaca puisi tingkat SD berlevel nasional yang di adakan di Bandung.
            Sudah dimulai lomba sejak sepuluh menit yang lalu. Aku mencoba untuk tenang. Dan kini giliranku untuk tampil sebagai perwakilan SD Harapan dari Kalimantan Timur.
Sekolahku … Karya Piyan

SD Harapan
Sekolah Dasar di Kalimantan Timur
Satu gedung untuk enam kelas
Satu ruang untuk dua kelas
    Ada Pak Dian, Pak Muhtar dan Bu  Intan
    Ada hari yang terlukis oleh senyuman
    Aku selalu semangat tak pernah surut
    Aku tau meski sering dihasut
Papan dan kayu berdiri
Meja papan yang menanti
Atap bolong yang mencuri
Papan tulis hitam menghiasi
   Inilah sekolahku yang kuhargai
   Engkau kusayangi
   Bagunan megah tak berarti
   Karena sekolah untuk mengukir prestasi


Aku langsung memeluk Bu Intan erat ditengah riuh hiruk pikuk suasana dalam gedung yang meriah dengan irama tepuk tangan orang-orang saat terdengar sahutan bahwa “Piyan dari SD Harapan dengan puisinya yang berjudul Sekolahku sebagai juara pertama.” Ibu menyuruhku untuk segera naik ke atas panggung. Aku pun menuruti perintah Bu Intan.
 “Selamat yah. Belajar yang lebih rajin.” Salam dari seorang pria paruh baya yang merupakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia memberikan hadiah berupa piala penghargaan serta uang tunai sebesar tujuh juta rupiah.
Setelah selesai menerima hadiah, aku langsung turun dan bertanya pada Bu Intan. Ada keinginan yang terlintas cepat dari benakku saat aku menerima hadiah.
“Bu, ape orang itu keh yang memberikan hadieh ni?”
“Iya. Ada apa memangnya Piyan?”
Tanpa banyak tanya lagi aku langsung berlari mengejar bapak itu.
“Pak, ape bapak keh yang memberikan hadieh ni? Aku tak mau ni. Aku ingin hadiahku dituker saje dengan perbaikan sekolah. Aku tak mau ni semue. Aku hanya ingin sekolahku diperbaiki.” Suasana jadi berubah sedikit kacau. Bu Intan langsung menatapku untuk menjauh dari Pak Menteri yang dikawal ketat. Aku tetap tak mau menjauh sebelum bapak itu menjawabnya. Namun, pengawalnya segera bertindak setelah melihat kelakuanku tadi. Akhirnya aku dan Bu Intan menjauh dari Pak Menteri.
“Bu, aku tak mau ni. Aku mau hadiehku diganti perbaikan sekoleh.” Aku menangis. Aku ingin keinginanku ada yang menyelamatkannya saat ini juga.
“Piyan, tidak mungkin hadiah ini bisa ditukar. Itu Pak Menteri. Orang yang hebat di negeri ini. Mana mau dia akan mendengar keinginan kita. Beliau sibuk.”
“Kalau begitu cepatlah kejar sebelum Pak Menteri pergi Bu. Kapen lagi kita kan bertemu dengannye. Bukankah Ibu nak mewujudkan impian aku dan kawan-kawan keh?” Pintaku lirih.
Bu Intan menatapku sayu. Ibu memang ingin sekali mewujudkan sekolah idaman untuk SD Harapan. Akhirnya, setelah berpikir beberapa menit, Bu Intan langsung pergi menyusul Pak Menteri meninggalkanku. Namun, aku mengejarnya.
Kulihat Bu Intan mencoba masuk ke pengawalan ketat Pak Menteri. Bu Intan mencoba untuk meraih tangan Pak Menteri. Dengan sedikit paksaan dan tindakan keras, Ibu berhasil bertatapan mata dengan Pak Menteri.
“Pak, mohon beri saya kesempatan untuk berbicara. Saya adalah guru di SD Harapan. Tolong wujudkan impian murid saya Piyan tadi Pak. Dia ingin sekali sekolahnya dibangun agar lebih layak. Bapak tidak tau keadaan sekolah kami yang memprihatinkan. Bahkan lingkungan kami yang berada di pelosok Kalimantan, tak ada yang memperhatikan.”
Bu Intan menangis. Kakinya lemas. Ibu tersungkur, berdiri dengan lututnya. Pak menteri yang melihat ini lalu mencoba menenangkan keadaan dan Bu Intan serta aku.
“Jangan menangis lagi. Ayo bangun Bu. Memangnya dimana SD tempat ibu mengajar?”
“Kalimantan Timur Kabupaten Nunukan Kecamatan Sebuku. Wilayah tersebut merupakan wilayah perbatasan antara Indonesia-Malaysia, Pak.”
“Maafkan saya dan kami semua yang telah menelantarkan kalian. Ibu dan adik tidak usah menukar hadiah ini. ini adalah hadiah hasil perjuangan kalian. Kalian sampai kesini pasti penuh usaha, usaha kalian pantas untuk dibayar lebih. Saya beserta jajaran akan segera mengunjungi SD dan kampung tersebut untuk kemudian mengadakan peronavasian di daerah kalian.”
            Wajahku langsung mengukir senyuman lebar mengembang, begitupun Bu Intan. Aku langsung berpelukan dengan Bu Intan. Aku menangis mengharu biru begitu juga guru kesayanganku. Terima kasih Tuhan. Kau kabulkan doa, semangat dan perjuangan kami semua, orang-orang Kalimantan Timur. Akhirnya, akan ada sekolah idaman dengan semangat belajar dambaan.

Juara II Lomba Cerpen


Kampus Ridho Ibu
(Dwi Novi Antari)
Rose is rose wherever it grows. Mawar adalah mawar dimanapun ia tumbuh. Meski dalam baris ribuan kaktus digurun pasir, ia akan tetap disebut mawar. Bahkan jika ia tumbuh dalam rawa lumpur di hutan paling dalam, ia juga tetap dikenali sebagai mawar walaupun diantara teratai. Di taman dengan bermilyaran jenis bunga , tak kan ada yang salah menyebutnya, ia akan dan terus menjadi mawar. Begitu yang ibuku tuturkan dan sampai sekarang belum juga kutemui maksudnya.
*****
Aku masih menatapi layar tipis berukuran 14 inchi, tanpa cahaya sedikitpun dari luaran ruang. Gelap bercampur pekat. Huruf-huruf yang tertulis pada laptop dihadapanku begitu nampak jelas, terlalu jelas untuk sekedar menganggu pikiranku. Seingatku, sudah sejak kemarin aku mengurunggi diri disini. Dihadapan tulisan ini, aku seperti tertimpa beban atau malah bencana, aku sudah tak berdaya. Sebaris tulisan dari sebuah situs resmi dengan pengunjung terbanyak minggu ini, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negri. Ya, pengumuman SNMPTN sudah dipublikasikan di internet sejak kemarin malam, dan aku adalah satu dari berpuluh ribu pelajar yang kecewa.
“Selamat, Anda diterima di Jurusan PGSD, Universitas Pendidikan Indonesia”
Kalimat yang meruntuhkan mimpiku, mimpi yang kurancang apik sejak dua tahun lalu. Tulisan yang membuat seluruh tubuhku kaku. Kata-kata yang membumi hanguskan harapan masa depanku.
“Zae, kenapa belum juga keluar kamar? Ibu memanggiliku dari balik pintu.
Lalu hening dan senyap. Semuanya kembali pekat ketika kututup kedua mataku. Bayang-bayang sebuah lambang terus saja datang, tak pernah pergi. Aku memang menginginkannya, sangat dan terlalu ingin memiliknya. Seekor gajah melambai-lampai padaku, kemudian menghilang menjadi sebuah titik. Ah, ITB tunggu aku!
“Bagaimana pengumumannya, Zae?” pertanyaan ibu membuatku sesak nafas tiba-tiba.
“Lolos Bu” jawabku datar.
“Alhamdulillah, pilihan yang keberapa Zae?” pertanyaan ibu semakin membuatku tercekik.
“Terakhir Bu” jawabku pasrah.
“Ya Allah, Allahu Akbar, kamu jadi guru Zae, Syukur nak, Alhamdulillah”
Ibu tiba-tiba bersujud di lantai, lalu memelukku dan menciumiku dengan tangis meluap-luap. Hangat peluknya, tapi panas rasa dalam diriku. Saat ini sudah kacau semua pikiranku, ibu begitu bersyukur juga girang tak terkira, sedang aku hampir mati karena ini bukan pilihanku, bukan mauku, bukan aku yang menginginkannya. Ibu, ya ibu yang menyuruhku kuliah di Pendidikan, di Universitas Pendidikan nomor satu di Negri ini. Bu, bisakah ibu saja yang kuliah di UPI sungguh bu aku masih mengimpikan ITB, ucapku dalam hati. Tak sanggup kuutarakan apa yang menganjal padaku, ibu terlalu bahagia dan aku  tak tega menyakiti inginnya.
“Maukah kau mendengar cerita dibalik namamu Zae?” Tanya ibu padaku.
“Tentu bu,” jawabku tak berselera.
Kemudian ia menuturkan soal arti namaku, dan aku sangat terperanjat mengetahui kebenaran makna dibalik namaku sendiri, aku salah menafsiri namaku. Muhammad Zaenal B, dengan nama akhir yang disingkat. Tidak umum memang, biasanya nama Muhammad lah yang akan disingkat jika namanya terlalu panjang. Ayah menginginkanku menjadi pribadi seperti Muhammad, nabi umat islam, juga guru peradaban dunia. Lalu singkatan B untuk Bakri, kufikir itu berarti orangtuaku menginginkanku menjadi orang sukses seperti Aburizal Bakri, Bakri yang berarti nama akhir seorang pengusaha sukses Indonesia. Sedikit mirip juga antara Zaenal dan Aburizal, sama-sama berunsur “Za”.
Runtuh sudah semua definisi nama yang kutafsir sendiri, Bakri yang orangtuaku maksud adalah Oemar Bakri, sosok guru ternama di Indonesia, tokoh idola Ayah, lagi-lagi berarti guru. Semakin sakit saja hatiku. Cukuplah ini menyadarkanku bahwa sejauh apapun harapanku dan setinggi apapun aku bermimpi, aku akan kembali pada takdir yang terpatri dalam namaku, melekat pada diriku sendiri. Bukan hanya satu, tapi dua dari tiga penyusun namaku adalah bermakna sosok guru. Aku mengutuk diri dalam hening diam.
Hari-hari berlalu tanpa ada hasrat yang mengebu, kubiarkan diri mengikuti irama waktu tanpa berdaya melawannya. Hampir kuinsyafi diri dengan pikiran untuk tidak kuliah kecuali di ITB, namun kuingat juga tak mungkin aku mementingkan diriku sendiri sedang ibu begitu besar mengharapkanku.
Ibu meyuruhku segera berangkat mengurus semua keperluan akademik yang dibutuhkan Universitas, dengan tanpa melawan kuturuti semua pintanya. Menyusuri daerah Bandung yang berselimut hawa dingin masih saja kurasa diriku dalam suhu panas dibagian hati. Memasuki deret Jalan Setia Budi pandanganku seperti kabur, jika saja kutemui nama daerah ini adalah Jatinangor betapa bahagianya aku.
“Selamat siang, ada yang bisa dibantu kang? Ruang BAAK ada dibelakang masjid Al-Furqon didepan Gedung Pasca Sarjana, sebelah sana,” seorang satpam digerbang dengan ramah menjelaskan, mungkin ia paham aku adalah mahasiswa baru.
“Terimakasih” ucapku dengan senyum tertahan.
Disamping  kanan kantor satpam terdapat tembok nama Universitas Pendidikan Indonesia lengkap dengan lambang berwarna hitam, merah dan lingkaran kecil kuning. Dibaris depan Universitas terdapat gedung rektorat yang menjadi icon UPI, lalu berderet gedung tinggi lainnya, juga pepohonannya yang makin membuat suhunya semakin terasa dingin, hatiku masih belum juga terpaut.
Lalu digaris paling depan adalah sebuah gedung dengan warna paling kontras diantara yang lainnya, sebuah masjid yang menarik hatiku. Dengan segenap keyakinan kupaksakan melangkah. Dengan samar, terbaca sebuah nama “Al-Furqon”. Pembeda, tepat sekali. Gedung paling berbeda memang, tak salah apa yang sempat kupikirkan.
Setelah bersujud didalam masjid, tanpa sadar dipojok baris terdepan shaff aku sudah sesenggukan dalam tangis. Hatiku terasa lara sekali, kenapa aku ditakdirkan ada ditempat ini, kenapa tak pula dikabulkan doa-doaku disela tahajjud, aku menunduk dalam-dalam. Semua beban seperti tertumpu, reruntuhan mimpi yang kupunya terasa berat. Sesak.
“Nak, kau baik-baik saja” seseorang memegang pundakku.
Dengan cepat kuhapusi rintih halus dimataku. Kemudian kutatap kedua mata laki-laki dihadapanku. Aku yang menurut ibuku, bujang paling penurut dan hemat bicara ini entah bagaimana dengan begitu mudahnya menuturkan masalah yang kupunya kepada orang yang sama sekali tak kukenal sebelumnya. Semua yang menganjal dihatiku kuungkapkan, tentang kampus impian yang berganti jadi kampus yang tak diinginkan, tentang keinginan ibu, tentang diriku yang masih belum menemukan gairah semangat.
“Pertama, syukurilah apa yang kau dapati ini nak, lebih dari sekedar rahasia  apa yang ada dibalik semuanya” ucapnya pelan menenangkanku.
“Jika menurutmu nama besar sebuah instansi adalah sesuatu yang sangat penting , maka ingatlah nak, hakekat ilmu lebih dari sekedar itu, bukan dimana, apa atau kapan namun bagaimanalah yang lebih utama. Didalam penjara sekalipun kau masih bisa mendapatkan ilmu, para tukang becak pun bisa kau jadikan guru. Lebih dari sekedar itu nak, yang terpenting adalah kau dengan ilmu yang kau dapat itu, bermanfaatkah bagi banyak orang atau hanya untuk arsip pribadimu saja.” Ia mengambil jeda untuk mengambil nafas kembali.
“Perbaikilah niatmu nak, lapangkan keiklasanmu, dapati ridho ibumu yang sudah begitu jelas ada dihadapmu, jangan berfokus pada keharusan menjadi sukses, siapkanlah dirimu untuk jadi yang paling bermanfaat,” ia meraih kedua tanganku, mengenggamnya  lalu menyalimi dengan kuat.
“Segeralah registrasi, disini bukan tempat yang salah, percayalah nak.”
Dengan patuhnya, aku lekas bangkit dan berjalan menuju ke pintu utama dilantai dasar masjid, mencari-cari sandal yang tadi kupakai untuk segera ke gedung BAAK. Aku melupakan satu hal, belum juga kuketahui siapa laki-laki yang memberiku pencerahan itu. Kembali aku menaiki tangga masjid di kampus UPI ini, menyusuri setiap sudut ditiap lantai. Melempari pandangan kesekitar, berharap masih bisa menemukan sosok laki-laki berkemeja putih itu. Tak ada yang mengenakan warna putih disini, kemana bapak itu pergi?
Dengan sedikit ingatan yang tersisa, kupaksakan mengaisi ucapan bapak dalam masjid tadi, tentang hakekat ilmu sebenarnya. ITB, haruskah benar-benar kulupakan, oh kampus impianku. Kutarik nafas panjang selama yang kubisa lalu menghembuskannya perlahan, berulang kulakukan. Terpatris sebuah niat kini, dengan langkah gontai kuhampiri ibu dan segera bersimpuh dibawah kakinya, menciumi kedua tangannya.
“Bu, ridhoi jalanku... Bu, doakan agar aku menjadi orang yang bermanfaat, Bu...” ucapku berlinangan airmata, meluluhkan hatiku yang semula membeku.
Perlahan ibu mengusapi rambutku, menghembuskan semilir doa diatas kepalaku, nafasnya sejuk menentramkan.
“Bu, aku ingin ridhomu. Bu, hanya itu yang kumau, hanya ridhomu. Ridhoi aku, Bu...” Ucapku lagi dengan sesenggukan.
Runtuhlah kini kampus impian itu, bangunan ITB sudah runtuh diimpianku. Mungkin memang ada suatu hal yang membuatnya tidak diperuntukkan kepadaku. Maka datanglah kesadaran itu, bahwa kampus impian bukan hanya berarti itu kampus yang diimpi-impikan, yang didambakan, yang diinginkan. Kampus impian sekarang bagiku adalah kampus merangkai mimpi baru, kampus dimana akan kudapati ridho ibuku, kampus yang akan kutangkapi banyak ilmu tak peduli persoal apapun. Kuniati diri menjadi orang yang bermanfaat dan bukankah guru adalah insan paling utama dalam hal manfaat. Ayah, Ibu terimakasih untuk nama yang kalian sematkan padaku. Muhammad Zaenal Bakri.
Haru dalam hikmad yang memenuhi hati, kulangkahkan kaki dengan ikhlas di sebuah pelatar gedung di kampus impian baruku,UPI. Diantara beberapa tanaman yang tertata pada taman pelatar gedung ini, pandanganku tersita pada sebuah bunga berkelopak merah merona. Mawar itu, mawar yang ibu ceritakan. Aku diam dan mentafakuri yang ibu maksudkan soal bunga mawar. Mawar dimanapun ia berada?. Ah, aku hanya bisa tersenyum, paham maksudnya sekarang. Ibu benar, mawar akan tetap jadi mawar dimanapun ia berada. Jangan berfokus pada tempat yang diinjak, tapi titik beratkan untuk berbenah menunjukkan diri.
*teruntuk mahasiswa yang memahabesarkan nama sebuah instansi, mari pahami hakekat ilmu.

Juara I Lomba Cerpen


Ayahku, Motivatorku
(Oleh Melly)
Hari ini matahari enggan menunjukkan wajahnya, tetes demi tetes air pun akhir-akhir ini tak nampak. Suasana seperti ini semakin membuat diriku mencekam sembari mengingat ayah. Ku lihat langit tampak mendung, namun air masih enggan turun ke bumi. Seperti itulah perasaanku kini, setelah kepergian ayah seminggu yang lalu.
            Sedangkan ibu masih terlihat tegar, walau begitu ku tahu ibu sering menangisi kepergian ayah. Setiap malam, tak jarang ku melihat ibu menangis dikamarnya.
            Malam ini begitu hening sehingga tak sedikitpun aku meragukan suasana ini untuk menumpahkan segala luapan emosi dan tangisanku. Lalu aku langsung beranjak menuju ranjang tidurku. Ranjang rotan inilah yang selalu menjadi tempat kedua atau bahkan terakhir aku mencurahkan apa yang selalu menjadi masalahku setelah ayah. Banyak sekali pernak-pernik buatan ayah dikamarku sehingga membuatku sulit sekali melepas kenangan tentangnya.
            Biasanya setelah aku puas mengingat ayah, ku atur posisi tidurku. Sering kali aku menatap sawang-sawang dilangit kamarku. Yah.. sawang bukan plafon. Rumah ini terlalu tua untuk ditempati, yang ada dilangit kamarku hanya sawang-sawang yang kian hari kian banyak. Aku selalu berfikir sebelum tidur sambil menatap sawang-sawang dikamarku hingga akhirnya aku pun terlelap.
            “Nak bangun, ini giliran kamu untuk menjaga dan merawat ibumu, bahagiakan ibumu.”
            Aku terbangun, “Astagfirullah, ternyata mimpi. Mungkin karena ku terlalu memikirkan ayah.”(bisik hatiku), dengan mata setengah sadar aku beranjak dari ranjangku keluar kamar untuk mengambil segelas air didapur. Saat ingin kembali ke kamar, aku tidak sengaja melihat ibu masih saja menangisi dan menatap hampa foto ayah. Ingin sekali aku mendekatinya, tetapi ku ingat tepat dua hari yang lalu juga, aku melihat ibu yang sedang menangis seorang diri dikamar, lalu aku mendekatinya berharap rasa duka itu berkurang, namun bukannya membuat ibu tenang, aku malah semakin membuatnya sedih dan aku tak ingin hal itu terulang kembali. Langsung aku paksakan kakiku untuk melangkah ke kamarku.
            Sesampainya dikamar, handphoneku berdering. Aku fikir, aku akan mendapatkan kata-kata pendukung kesedihanku seperti belasukawan atau bahkan aku turut berduka cita tetapi ternyata tidak, aku pun bersyukur sehingga tak ada lagi tangisan yang harus ku keluarkan untuk itu.
            Pengingat : lusa ujian SNMPTN dimulai. Semangat Liana J
            Pengingat, yah aku baru teringat jika dua hari lagi aku akan mengikuti ujian SNMPTN. Pengingat itu aku buat sehari sebelum akhirnya ayah meninggalkanku selama-lamanya. Teringat lagi tentangnya, air mata ini pun terpaksa menetes kembali.
            “Ayah, aku ingin sekali kuliah di PTN tahun ini.”
            “Iya Nak. Akan Ayah usahakan hal itu, jangan khawatir bahkan kalau bisa ayah lembur supaya ayah mendapatkan banyak uang untuk membiayai kuliah kamu, Nak.”
            Tetesan mulai mengalir ketika aku mengingat satu-persatu memori itu. Ayah menuju kamarku, saat itu aku sedang menangis, aku takut jika aku tidak bisa membuat orangtuaku bahagia karena penyakit gagal ginjal yang aku derita semenjak SMA kondisinya semakin parah. Namun Ayah selalu membuat motivasi-motivasi besar dalam hidupku sampai aku pun seringkali melupakan penyakitku itu.
            “Buatlah dua impian dalam selembar kertas ini, lalu baca dan simpan didalam botol kecil, tutup dan bukalah selembar kertas ini saat kamu mengingatnya. Yakinlah ketika kamu ingat kembali, salah satu atau bahkan semua keinginanmu itu akan terwujud.”tuturnya
            Mulai ku rajut dua impian itu didalam pikiranku. Yakin, yakin, dan yakin merupakan salah satu motivasi yang selalu ayah utarakan kepadaku terlebih ketika ku sedang terjebak dalam berbagai masalah.
            Bismillah, itulah awal kata yang terlontar dari bibirku. Sejenak ku pejamkan mata untuk mengingat dan meyakinkan diri seolah-olah dua impian ini bukanlah suatu pengharapan melainkan suatu penghargaan yang kelak akan ku dapatkan.
            Tuhan, aku ingin sekali membahagiakan kedua orangtuaku atau bahkan jika kelak usiaku lebih pendek dari ayah dan ibuku. Sampai saat ini aku bersyukur organ ini masih ada untukku, walau sebenarnya ku ragu akan titipan-Mu karena sering kali aku hanya memikirkan apa yang aku inginkan daripada kebaikan ragaku ini.
*Impian pertamaku, aku ingin sembuh Tuhan. Tetapi ma’afkan aku, jika suatu saat organ ini tak lagi berfungsi, memang salahku yang tak sempurna menjaganya dan aku mengerti, jika yang ku pertaruhkan ini bukan hanya sekedar raga dari-Mu, melainkan nyawa yang juga bersemayam didalam ragaku. Tetapi adakah pendonor yang akan mendonorkan satu ginjalnya untukku?
*Impian keduaku, setelah aku sembuh, aku ingin buktikan pada semua insan jika aku bisa membuat kedua orangtuaku tersenyum bahagia. Walau banyak keterbatasan orangtuaku dan bahkan aku sendiri sering kali membuat mereka menangis jika rasa sakit itu telah mulai menggerogoti tubuhku. Namun, setelah aku sembuh kelak, janjiku ku padamu Tuhan, aku akan giat belajar supaya aku bisa kuliah di Universitas impianku, ayah dan ibuku yaitu Universitas Pendidikan Indonesia. Selain itu juga alasanku memilih Universitas itu, karena ayah seringkali memotivasiku untuk menjadi guru yang kelak akan mengajar anak-anak kecil, dan dari mengajar anak-anak kecil itulah aku bisa belajar memotivasi dan juga mengumpulkan satu-persatu kebahagiaanku melalui kepolosan dan keceriaan mereka. Hanya itu yang aku inginkan Tuhan. Wujudkan permohonanku ini. Aku mohon.
            Akupun terlelap kembali setelah setelah lama aku mengingat hal itu.
Dua hari kemudian ...
            Hari ini tepat tanggal 13 Juni 2012, aku mengikuti ujian SNMPTN. Setelah mengikuti ujian tersebut aku langsung pulang ke rumah.
Sebulan berlalu ...
            Aku bersyukur, ibu terlihat lebih baik dari bulan lalu. Terlebih ketika dia menanyakan hasil ujian SNMPTNku bulan lalu. Aku baru teringat jika hari ini pengumuman SNMPTN bisa dilihat.
Langsung ku beranjak dari rumah menuju warnet yang jaraknya 2 km dari rumahku. Lorong bambu yang biasa ku lewati masih tergenang air, aku lupa hal ini sehingga sepatu sendal satu-satunya pemberian ayah basah kuyup.
Sesampainya diwarnet, aku bahagia sekali ketika melihat hasil pengumuman tersebut. Akhirnya aku lulus di Universitas impianku.
Liana Putriliani
Selamat Anda lulus di PGSD Universitas Pendidikan Indonesia
Aku langsung berlari ke rumah. Tak ku hiraukan lagi percikan air membasahi    pakaian dan sepatuku.
Ibu... aku lulus, aku lulus Bu.”
        Sedikit tangisan ibu terurai dihadapanku. Ku usap satu-persatu tetesan air mata itu. Ku peluk erat tubuh ibu. Beliau pun akhirnya tersenyum kepadaku.           
         Hari berikutnya akupun dapat masalah, karena ternyata aku tidak terpilih sebagai anak beasiswa. Harapan itu luluh sekejap. Aku menangisi hal yang tak mungkin ku capai dan aku pun mulai putus asa. Akhirnya ku putuskan untuk mengunjungi ayah dengan tangis, dan membawa harapan setelah ini aku bisa tersenyum kembali. Sesampainya aku disana ternyata ibu telah dulu bertamu. Aku pun duduk disampingnya. Beliau menatapku dan tiba-tiba beliau langsung memintaku untuk menutup mata sejenak.
“Nak, buka matamu.”
“Ibu.. inikan botol kecil impianku.”
“Iya, kamu pernah menuliskan dua impianmu didalam botol ini. Saat kamu tertidur, ayah mengambilnya. Ketika ayah sedang sakit, beliau memberitahukan Ibu tentang ini dan ayah mencoba mewujudkannya walau awalnya Ibu sangat tidak setuju tetapi karena ayah tetap bersikeras akhirnya ibu mengalah. Namun kini kamu bisa merasakannya.”
“Apa maksud Ibu?”Tanyaku penasaran.
“Ayah sudah terkena kanker hati semenjak dua tahun yang lalu. Ayah juga yang
paling takut ketika dia mengetahui bahwa kamu mengidap penyakit gagal ginjal. Sekarang kamu sudah mempunyai dua ginjal yang utuh dan sehat. Jaga baik-baik ya Nak. Ayahlah yang mendonorkan satu ginjal untukmu.”
        Aku mulai meneteskan air mata dihadapan Ibu tanpa ragu, ditambah nafasku semakin turun naik tak menentu ketika aku baru mengetahui siapa sebenarnya pendonor ginjalku. Belum sempat aku mengusap air mataku, ibu langsung menjelaskan mengenai impian keduaku.
“Nak, ayah dan ibu meminta ma’af jika kami seringkali secara tidak langsung membuatmu putus asa karena keterbatasan kami untuk membiayai pendidikan dan pengobatanmu. Namun sekali lagi kamu tidak usah khawatir, ayahmu sudah menitipkan hadiah untukmu. Dia menukarkan satu ginjalnya lagi untuk biaya kuliah kamu Nak, terlebih karena dokter telah memvonis jika usia almarhum tidak sampai sebulan lagi. Karena kamu dia melakukan hal ini semua.”
             Mendengar hal itu semua, tangisanku semakin lepas dan nafasku semakin tak jelas. Ibupun meneteskan air matanya juga dihadapanku, ku gempalkan tanganku dan memejamkan mata sambil mengingat ayah. Lalu ibu memeluk erat tubuku dan mencoba menenangkanku.
               Kini jasad Ayah telah tertanam didalam tanah. Walaupun dihadapan aku hanya sepetak tanah dan berdiri sebuah kayu yang bertuliskan nama ayah, namun aku masih merasakan kehadirannya. Terima kasih Tuhan, terima kasih ayah akhirnya aku bisa kuliah di Universitas impianku. Akan aku lakukan yang terbaik untuk dirimu, ayahku tersayang. Aku berharap kelak jika aku telah menjadi guru, ayah bisa melihatku.
“Sepertinya pertemuan itu tidak akan pernah terjadi diantara kita lagi yah. Tuhan mempunyai rencana lain, rasanya sedih sekali karena salah satu harus berkorban namun aku akan belajar ikhlas demi dirimu. Semoga ayah tenang disana. Aku akan selalu mendo’akan ayah dan aku berharap ayah bahagia disana.”
“Ayo Nak kita pulang udah sore. Ayahmu sudah tenang disana.”
“Selamat tinggal ayah, selamat tinggal motivatorku.”