Sekolah Idaman, Semangat Dambaan
(Oleh Intan)
Di
sebuah desa sangat jauh dari kebisingan kota, dimana pendidikan mungkin hanya
nomor sembilan puluh sembilan dari seratus pilihan dimana keseratus adalah pilihan
untuk mati, dirindukan sekolah bertaraf idaman.
Aku adalah anak dari kedua orang tua yang
sudah meninggal. Aku tinggal dengan kakek sekarang. Dia satu-satunya sisa garis
keturunan darah yang aku punya. Kakek bernama Wandi dan namaku Piyan.
Sudah
tiga tahun aku sekolah di SD Harapan. Kondisi sekolahku sangat sederhana. Hanya ada empat kelas
dalam satu atap. Kelas pertama untuk kelas tiga dan empat, masing-masing
tingkatan kelas dipisah dengan pembatas dinding dengan tinggi dua dua meter
yang terbuat dari papan. Begitu juga dengan kelas lima dan enam. Sedangkan
untuk kelas satu dan dua tak ada. Dikarenakan kurangnya tenaga pengajar di
sekolah. Bagi kelas satu dan dua, mereka harus pergi ke rumah Pak Dian atau Pak
Muhtar untuk mendapat pelajaran. Kegiatan belajar mengajar dilakukan oleh satu
guru untuk dua kelas sekaligus. Maka tidak heran, jika guru yang mengajar harus
sering bolak balik memperhatikan siswa yang beda tingkatan kelas. Dan setiap
kelas rata-rata berkisar tidak lebih dari lima belas siswa.
Dinding dan atap terbuat dari papan
dan kayu. Meja dan tempat duduk kami terbuat dari papan yang dibuat memanjang.
Papan tulis hitam berukuran 1x2 meter menggantung di depan untuk dua kelas
dengan pemisah garis lurus yang digambarkan oleh pak guru. Sekolahku hanya
berlantaikan tanah. Kalau hujan turun, airnya akan masuk ke dalam kelasku
hingga menjadi becek. Jika hujan deras turun, kegiatan belajar mengajar sudah
otomatis diliburkan, karena tak ada tempat sama sekali untuk menunjang kegiatan
tersebut. Hujan biasa saja sudah becek, apalagi hujan deras dengan tambahan
atap kayu yang kini sudah banyak bolongnya, bahkan terlihat hampir rapuh. Saat
hujan, tubuh kami kedinginan karena hawa-hawa dingin dengan mudah masuk ke
dalam ruang kelas yang tak berpintu. Tempat dudukku tepat sekali dibawah atap
yang bolong. Jika hujan sudah turun, maka akulah yang pertama kali kebasahan
bersamaan dengan bukuku. Begitupun kejadiannya jika panas matahari tengah
menyengat bumi.
Hanya
ada dua guru di SD Harapan, Pak Dian memegang kelas lima dan enam, sedangkan
kelas tiga dan empat oleh Pak Muhtar.
Aku
pulang di bonceng Pak Dian. Hampir setiap hari aku di bonceng Pak Dian. Aku
menangis dalam hati melihat sembilu keadaan kedua guruku. Mereka mengajar
sampai siang hari, sudah lelah mengajar masih harus mencari nafkah sendiri di
ujung pelosok daerah Kalimantan Timur, Kabupaten Nunukan Kecamatan Sebuku,
kampung yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia. Aksen-aksen nada
bicara kami pun mirip logat Malaysia. Tak ada yang mau jadi guru. Tentu saja
tidak mau. Karena guru di kampung ini tidak dibayar. Hanya orang-orang yang
dimampukan hatinya saja yang melihat dan tergerak untuk ikut mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Banyak dari kami lebih memilih untuk bekerja, berwirausaha dan kemudian menetap
bahkan menjadi warga negara Malaysia. Tentu karena Malaysia memiliki banyak
sarana kehidupan yang seratus kali lebih layak tidak seperti disini.
Bu Intan, guru baru yang ditugaskan
di kecamatan kami, akan mengajar kelas lima adan enam. Nanti akan ada kelas
satu dan dua di siang hari, Pak Dian lah orang yang akan mengajar mereka.
Berlalu
waktu berputar, aku sangat senang sekali diajar oleh Ibu Intan. Dia guru yang
sangat baik, aku bisa melihat hatinya yang baik itu. Ibu tidak sungkan untuk
melakukan banyak hal dengan kami dan warga.
Kurangnya
sarana prasarana transportasi serta komunikasi, tidak adanya listrik, lemahnya
SDM yang diakibatkan karena minimnya pendidikan yang diperoleh masyarakat,
serta keadaan sekolah yang sangat sangat miris membuat Bu Intan mencoba
mengkaji kehidupan daerah perbatasan yang tidak menguntungkan. Ibu sering
bercerita bahwa kami yang tinggal di sini sangat hebat, mampu bertahan dengan
status kewarganegaraan yang masih Indonesia, bukan pergi ke Malaysia.
Suatu hari, Bu Intan pernah bertanya
kepadaku tentang cita-citaku. Aku jawab ingin menjadi seperti Bu Intan dan Pak
Dian. Menjadi guru. Membuat kampung menjadi maju. Semua anak sekolah dengan sekolah
yang bagus. Ruang kelas luas, papan tulis lebar, tempat duduk dan meja yang
enak, bagus dan dicat, atapnya pakai genteng biar tidak bolong, lantainya
keramik, ada jam, jendela, pintu dan toiletnya. Aku tak mau ada libur hanya
karna hujan yang buat becek dan basah kuyup siswa. Bu Intan menangis saat
mendengar rentetan celotehanku. Aku tersenyum dan langsung kupeluk Bu Intan. Ternyata
aku adalah siswa terakhir yang ditanya oleh ibu mengenai cita-cita dan sekolah
idaman seperti apa yang diinginkan siswa. Bu Intan setiap hari pulang dengan
siswa yang berbeda. Mengantar setiap siswa sampai rumah dan sepanjang
perjalanan itulah, Bu Intan mencoba mendengarkan semua keluhan siswanya, bagaimana
ilustrasi imajinasi mereka mengenai sekolah idaman.
Tiga
hari menjelang lomba, aku semakin deg-degan namun bersemangat. Aku yang
akhirnya ditakdirkan mewakili SD Harapan ke lomba mengarang dan membaca puisi
tingkat SD berlevel nasional yang di adakan di Bandung.
Sudah
dimulai lomba sejak sepuluh menit yang lalu. Aku mencoba untuk tenang. Dan kini
giliranku untuk tampil sebagai perwakilan SD Harapan dari Kalimantan Timur.
Sekolahku … Karya Piyan
SD Harapan
Sekolah Dasar di Kalimantan Timur
Satu gedung untuk enam kelas
Satu ruang untuk dua kelas
Ada Pak Dian, Pak
Muhtar dan Bu Intan
Ada hari yang
terlukis oleh senyuman
Aku selalu
semangat tak pernah surut
Aku tau meski sering dihasut
Papan dan kayu berdiri
Meja papan yang menanti
Atap bolong yang mencuri
Papan tulis hitam menghiasi
Inilah sekolahku
yang kuhargai
Engkau kusayangi
Bagunan megah tak
berarti
Karena sekolah
untuk mengukir prestasi
Aku
langsung memeluk Bu Intan erat ditengah riuh hiruk pikuk suasana dalam gedung
yang meriah dengan irama tepuk tangan orang-orang saat terdengar sahutan bahwa “Piyan
dari SD Harapan dengan puisinya yang berjudul Sekolahku sebagai juara pertama.”
Ibu menyuruhku untuk segera naik ke atas panggung. Aku pun menuruti perintah Bu
Intan.
“Selamat yah. Belajar yang lebih rajin.” Salam
dari seorang pria paruh baya yang merupakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Indonesia memberikan hadiah berupa piala penghargaan serta uang tunai sebesar
tujuh juta rupiah.
Setelah
selesai menerima hadiah, aku langsung turun dan bertanya pada Bu Intan. Ada
keinginan yang terlintas cepat dari benakku saat aku menerima hadiah.
“Bu,
ape orang itu keh yang memberikan hadieh ni?”
“Iya.
Ada apa memangnya Piyan?”
Tanpa
banyak tanya lagi aku langsung berlari mengejar bapak itu.
“Pak,
ape bapak keh yang memberikan hadieh ni? Aku tak mau ni. Aku ingin hadiahku
dituker saje dengan perbaikan sekolah. Aku tak mau ni semue. Aku hanya ingin
sekolahku diperbaiki.” Suasana jadi berubah sedikit kacau. Bu Intan langsung
menatapku untuk menjauh dari Pak Menteri yang dikawal ketat. Aku tetap tak mau menjauh
sebelum bapak itu menjawabnya. Namun, pengawalnya segera bertindak setelah
melihat kelakuanku tadi. Akhirnya aku dan Bu Intan menjauh dari Pak Menteri.
“Bu,
aku tak mau ni. Aku mau hadiehku diganti perbaikan sekoleh.” Aku menangis. Aku
ingin keinginanku ada yang menyelamatkannya saat ini juga.
“Piyan,
tidak mungkin hadiah ini bisa ditukar. Itu Pak Menteri. Orang yang hebat di
negeri ini. Mana mau dia akan mendengar keinginan kita. Beliau sibuk.”
“Kalau
begitu cepatlah kejar sebelum Pak Menteri pergi Bu. Kapen lagi kita kan bertemu
dengannye. Bukankah Ibu nak mewujudkan impian aku dan kawan-kawan keh?” Pintaku
lirih.
Bu
Intan menatapku sayu. Ibu memang ingin sekali mewujudkan sekolah idaman untuk
SD Harapan. Akhirnya, setelah berpikir beberapa menit, Bu Intan langsung pergi
menyusul Pak Menteri meninggalkanku. Namun, aku mengejarnya.
Kulihat
Bu Intan mencoba masuk ke pengawalan ketat Pak Menteri. Bu Intan mencoba untuk
meraih tangan Pak Menteri. Dengan sedikit paksaan dan tindakan keras, Ibu
berhasil bertatapan mata dengan Pak Menteri.
“Pak,
mohon beri saya kesempatan untuk berbicara. Saya adalah guru di SD Harapan.
Tolong wujudkan impian murid saya Piyan tadi Pak. Dia ingin sekali sekolahnya
dibangun agar lebih layak. Bapak tidak tau keadaan sekolah kami yang
memprihatinkan. Bahkan lingkungan kami yang berada di pelosok Kalimantan, tak
ada yang memperhatikan.”
Bu
Intan menangis. Kakinya lemas. Ibu tersungkur, berdiri dengan lututnya. Pak
menteri yang melihat ini lalu mencoba menenangkan keadaan dan Bu Intan serta
aku.
“Jangan
menangis lagi. Ayo bangun Bu. Memangnya dimana SD tempat ibu mengajar?”
“Kalimantan
Timur Kabupaten Nunukan Kecamatan Sebuku. Wilayah tersebut merupakan wilayah
perbatasan antara Indonesia-Malaysia, Pak.”
“Maafkan
saya dan kami semua yang telah menelantarkan kalian. Ibu dan adik tidak usah
menukar hadiah ini. ini adalah hadiah hasil perjuangan kalian. Kalian sampai
kesini pasti penuh usaha, usaha kalian pantas untuk dibayar lebih. Saya beserta
jajaran akan segera mengunjungi SD dan kampung tersebut untuk kemudian mengadakan
peronavasian di daerah kalian.”
Wajahku langsung mengukir senyuman
lebar mengembang, begitupun Bu Intan. Aku langsung berpelukan dengan Bu Intan.
Aku menangis mengharu biru begitu juga guru kesayanganku. Terima kasih Tuhan.
Kau kabulkan doa, semangat dan perjuangan kami semua, orang-orang Kalimantan
Timur. Akhirnya, akan ada sekolah idaman dengan semangat belajar dambaan.